Perguruan tinggi mengemban misi mencari, menemukan, mempertahankan dan menjunjung tinggi kebenaran melalui: pendidikan dan pengajaran (teaching) dengan keteladanan, (2) penelitian (research) dengan kejujuran, dan (3) pengabdian (service) dengan keikhlasan. Namun kenyataannya kejujuran masih sangat mahal harganya di perguruan tinggi, belum semua memilikinya, justru yang ada sebaliknya ketidakjujuran tumbuh subur dan membudaya di perguruan tinggi. Seorang dosen pada sebuah universitas ternama di negeri ini, beliau alumnus sebuah perguruan tinggi prestesius di luar negeri, beberapa waktu lalu terbukti melakukan plagiat. Beliau bersikap gentlemen mengakui perbuatannya dan memilih mundur atau berhenti menjadi dosen (pendidik) karena telah merasa kehilangan hak moral untuk mendidik mahasiswanya. Shavan seorang pemimpin di suatu negara melakukan hal yang sama, yakni berhenti dari jabatannya karena diketahui melakukan plagiat pada pidatonya.
Fenomena maraknya plagiat tersebut menginspirasi bapak Menristekdikti untuk menghapus skripsi. Terdapat pro dan kontra terhadap wacana penghapusan skripsi karena dinilai bukan solusi. Praktek plagiat, khususnya di perguruan tinggi sudah cukup lama terjadi dan sangat masif yang seakan-akan telah membudaya. Penulis mempunyai pengalaman dan memiliki bukti yang cukup terkait adanya praktek plagiat di perguruan tinggi, diantaranya: di tahun1990 ketika penulis studi lanjut S2, ada seorang mahasiswa meminta bimbingan menulis skripsi, mahasiswa tersebut menunjukkan sebuah kopian skripsi orang lain dan beliau mohon kepada penulis agar sebagian besar dari skripsi tersebut digunakan untuk menulis skripsinya kecuali datanya saja yang dirubah. Keinginan calon sarjana itu langsung penulis tolak dan menasehatinya agar tidak melakukan plagiat. Dari pengalaman tersebut, sejak itu penulis berasumsi bahwa ada plagiat di perguruan tinggi.
Pengalaman penulis lainnya, pernah diminta oleh sebuah perguruan tinggi negeri memfasilitasi adanya gugatan dari sebuah perguruan tinggi negeri lainnya karena disertasi seorang mahasiswanya diplagiat oleh seorang magister dari PTN lain. Mereka menuntut agar magister tersebut dicabut atau dianulir ijasahnya. Penulis temui seorang doktor pemilik disertasi guna meminta petunjuk penyelesaian kasus tersebut, petunjuk itu diikuti, akhirnya kasus yang sangat mencorek dunia akademi itu dapat diselesaikan.
Kasus lain, seorang penerima hibab, kebetulan penulis adalah reviewernya. Penulis temukan di bagian usulan penelitiannya terdapat kutipan dari penelitian orang lain dengan tema yang berbeda, misalnya lokasi penelitian ternyata punya orang lain. Penulis informasi kepada pengelola hibah dan tim reviewer bahwa ada plagiat itu. Calon peneliti dipanggil untuk diminta keterangannya dan ia mengakui kekeliruannya, akhirnya kasus tersebut dapat diselesaikan. Hal yang sama, penulis temukan kembali sebuah tesis yang di dalamnya memuat beberapa halaman mengenai tesis orang lain yang bukan sebuah kutipan tanpa disadarinya apa yang ditulisnya itu (dugaan saya tesis tersebut dibuat oleh pabrik tesis), tidak berkaitan dengan karya tulisnya melainkan karya tulis orang lain, dan penulis yakin banyak skripsi memuat plagiat terutama di bab III, yakni bab metodologi penelitian.
Bukti plagiat di perguruan tinggi lainnya, saya masih menyimpan sebuah buku karya seorang dosen hasil plagiat. Ketika penulis sandingkan dengan buku aslinya, ditemukan mulai kata pertama pada kata pengantar sampai kata terakhir sama atau 100% plagiat. Penulis meyakini, banyak diantara kita mengetahui ada praktek plagiat di perguruan tinggi, tetapi berpura-pura tidak tahu ada plagiat dan pabrik pembuatan skripsi, tesis dan disertasi di sekitar. Beberapa hari lalu, penulis ditemani bapak Leo Sutrisno, PhD mengecek beberapa opini yang telah terpublikasi di media massa yang penulisnya bergelar magister, terbukti penulis opini tersebut melakukan plagiat. Melalui Personal Computer (PC) nya, beliau menunjukkan bukti maraknya plagiat diperguruan tinggi.
Masih banyak bukti plagiat di perguruan tinggi yang tidak dapat disampaikan karena keterbatasan ruang opini ini.
Maraknya plagiat di perguruan tinggi, bisa saja karena disengaja atau karena mereka tidak tahu, dan/atau memang tidak bisa dilepaskan dari diri seseorang termasuk bagi para ilmuan sekalipun. Oleh karena itu guna mencegah terjadinya plagiat di perguruan tinggi, pemerintah telah menetapkan Permendiknass RI Nomor 17/2010 tentang “Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi”.
Permendikbud RI tersebut mendefinisikan “plagiat adalah perbuatan secara sengaja atau tidak sengaja dalam memperoleh atau mencoba memperoleh kredit atau nilai untuk suatu karya ilmiah, dengan mengutip sebagian atau sebuah karya dan/atau karya ilmiah pihak lain yang diakui sebagai karya ilmiah tanpa menyatakan sumber secara tepat dan memadai. Plagiat meliputi tetapi tidak terbatas pada mengutip istilah, kata dan kalimat, data dan informasi dari sumber, menggunakan sumber gagasan, pendapat, pandangan atau teori, merumuskan dengan kata dan kalimat sendiri dari sumber kata-kata dan kalimat , gagasan, pendapat, pandangan atau teori tanpa menyatakan sumber secara memadai”.
Menghindari multi atau salah tafsir tentang plagiat itu, semestinya pengertian plagiat dijelaskan secara lebih operasional dan terukur karena semua orang tidak pernah mengatakan, termasuk menuliskan sesuatu dari apa yang tidak diketahuinya, melainkan diperoleh dan diketahuinya dari berbagai sumber atau mereka mengkonstruksi pengalaman dan informasi yang diperolehnya.
Penulis setuju terhadap sebuah pendapat yang menyatakan bahwa “menghapus skripsi bukan sebuah solusi mencegah plagiat di perguruan tinggi” karena plagiat itu tidak saja pada karya tulis (skripsi, tesis dan disertasi), melainkan ia ada pada ucapan atau lisan seseorang seperti pidato dan sambutan, ada pada makalah dan tugas mahasiswa, dan ada pada jawaban ujian. Jika plagiat ada dimana-mana berarti semua media yang digunakan dalam proses perkuliahan ditiadakan atau dihapus pula. Kemudian bagaimana mengukur standar proses dalam penjaminan mutu perguruan tinggi.
Usul penulis, plagiat dapat dicegah apabila sivitas akademika, meliputi unsur pimpinan, dosen, mahasiswa dan karyawan berkomitmen mencegahnya, mengetahui dan bertindak berdasarkan sumber yang berpotensi menimbulkan plagiat itu. Dugaan penulis mereka yang melakukan plagiat adalah selain pengaruh budaya dan mental masyarakat yang senang menerabas, kurang bertanggung jawab, tidak jujur dan lebih percaya orang lain dari pada dirinya, proses perkuliahan terutama kontrol perkuliahan sangat lemah dan bimbingan skripsi, tesis dan disertasi belum berjalan efektif, baik dosen maupun mahasiswa belum memiliki ketrampilan menulis dengan baik akibat terabaikannya membangun kesadaran literasi di perguruan tinggi.
Setelah mengetahui sumber plagiat itu, maka perguruan tinggi harus mencegahnya melalui komitmen bersama, membangun literasi baca tulis melalui kebebasan berekspresi, menegakkan aturan akademik, baik berupa menetapkan dan mengawasi pelaksanaan gaya selingkung untuk setiap bidang ilmu, teknologi dan seni, maupun sosialisasi dan penegakan kode etik (Penulis: Aswandi, Dosen FKIP Untan dan Ketua BAP S/M Kalbar).
Sumber tulisan : http://fkip.untan.ac.id/p-plagiat-di-perguruan-tinggi.html