Pengembangan Staf Perpustakaan

A.    Pendahuluan

Sumber daya manusia (SDM) merupakan salah satu unsur penting yang menentukan keberhasilan suatu perpustakaan dalam menjalankan fungsinya. Karena itu, kualitas SDM perlu diperhatikan dan ditingkatkan secara terus menerus sesuai dengan tuntutan zaman. Suatu perpustakaan bisa saja memiliki koleksi buku yang banyak dan gedung yang megah tetapi bila orang yang diserahi tugas untuk itu tidak memiliki kompetensi untuk mengelola koleksi buku dan gedung tersebut, maka sangat besar kemungkinan perpustakaan tersebut akan menjadi “mati” eksistensinya. Oleh sebab itu dari semua tugas manajemen, pengaturan komponen manusia merupakan tugas yang paling penting dan utama karena semua tugas yang lain sangat tergantung pada bagaimana komponen manusia tersebut diorganisir.

Dengan demikian, untuk meningkatkan kualitas SDM maka perlu dilakukan pengembangan secara terus menerus dan berkesinambungan baik melalui jalur formal maupun melalui jalur non formal. Dengan pengembangan tersebut, diharapkan selain dapat meningkatkan kemampuan personal juga dapat meningkatkan kualitas jasa dan layanan perpustakaan.

Perpustakaan perguruan tinggi yang secara teoritis sebenarnya dikategorikan pada perpustakaan khusus harus mempunyai SDM yang handal dan berkualitas. Karena menurut Sulistyo-Basuki, pada perpustakaan perguruan tinggi terdapat ciri-ciri khas yaitu adanya hubungan segi tiga antara pustakawan, mahasiswa, dan pengajar. Hal ini tidak terdapat pada perpustakaan lain. Hubungan segi tiga ini menunjukkan bahwa mahasiswa maupun pengajar berhubungan langsung dengan pustakawan dalam hal mencari informasi dan penelusuran informasi karena sifat hubungan langsung ini maka pustakawan perguruan tinggi haruslah orang yang ahli dalam sebuah subyek ditambah pendidikan kepustakawan yang sesuai dengan standar profesi pustakawan. Hal ini membawa implikasi bahwa pustakawan perguruan tinggi haruslah mampu membantu mahasiswa menggunakan pustaka untuk kepentingan mahasiswa.[1]

Oleh karena itu, kepala perpustakaan perguruan tinggi harus memperhatikan dengan serius  kompetensi para pustakawannya. Seperti merancang program pengembangan sumber daya manusia yang dilakukan secara kontinyu sesuai dengan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan. Program ini dapat dilakukan melalui jalur formal ataupun jalur non formal. Misalnya, mengikutsertakan pustakawan terutama pustakawan junior pada acara-acara seminar, pelatihan, workshop, kursus-kursus singkat atau bahkan melanjutkan pendidikan pada tingkat yang lebih tinggi seperti mengikuti kuliah pada jurusan Ilmu Perpustakaan di perguruan tinggi.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dipahami bahwa kepala perpustakaan sangat berperan dalam upaya pengembangan sumber daya manusia (staff development) ini pada setiap perpustakaan perguruan tinggi.

B.     Peranan Kepala Perpustakaan

Kepala perpustakaan perguruan tinggi memegang peranan yang sangat penting atas keberhasilan perpustakaan yang dipimpinnya. Kepala perpustakaan harus mampu melakukan beberapa hal penting seperti, pertama, bertanggung jawab dalam kegiatan pelaksanaan tugas sehari-hari sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi; kedua, mengembangkanperpustakaan dimana ia mengabdikan diri; ketiga, membuat perencanaan baik program maupun anggaran di perpustakaan; keempat, membina hubungan baik dengan pimpinan perguruan tinggi dan staf pengajar; kelima, berperan aktif dengan kegiatan akademik sehingga perkembangan dalam pengadaan koleksi dan peningkatan pelayanan dapat disesuaikan dengan kebutuhan pendidikan dan pengajaran; keenam, meyakinkan pimpinan perguruan tinggi bahwa perpustakaan merupakan sarana yang penting untuk menunjang kelangsungan pendidikan, pengajaran, dan penelitian. Untuk keperluan tersebut dibutuhkan dana yang cukup untuk membeli buku, majalah serta bahan pustaka lainnya; ketujuh, berinisiatif dalam mencari bantuan baik berupa dana maupun koleksi perpustakaan dari yayasan-yayasan dan badan-badan lainnya baik di dalam maupun luar negeri.[2]

C.    Tugas Pustakawan Perguruan Tinggi

Tugas pustakawan perguruan tinggi adalah meliputi mengumpulkan, mengolah, menyusun, memberi layanan, mnyebarkan informasi dan memelihara bahan pustaka sehingga diketahui dan dapat diakses oleh seluruh civitas akademika perguruan tinggi yang bersangkutan.

Untuk menjalankan tugasnya, pustakawan harus mampu membangun hubungan yang harmonis dengan semua orang baik sesama pustakawan maupun dengan pemakai seperti mahasiswa, staf pengajar, dan peneliti. Selain itu, pustakawan juga harus menjalin komunikasi yang baik dengan para pengambil keputusan (decision maker) sehingga setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh perpustakaan tidak akan bertolak belakang dengan kebijakan badan induknya.

Tugas pustakawan perguruan tinggi diatas sifatnya umum. Artinya bahwa semua pustakawan perguruan tinggi pasti melakukan tugas-tugas tersebut. Namun demikian, hal ini sangat tergantung dengan jumlah koleksi, pemakai, fasilitas, dan jenis layanan masing-masing perpustakaan perguruan tinggi.

D.    Macam-macam Tingkatan Pustakawan

Para ahli keperpustakaan tidak mengklasifikasi tingkatan pustakawan secara seragam tetapi sebetulnya kalau kita perhatikan semua klasifikasi itu mempunyai maksud yang sama hanya istilahnya saja yang berbeda. Berikut ini beberapa contoh klasifikasi tingkatan pustakawan.

Robert D. Stueart dan Barbara B. Moran didalam buku mereka Library Management edisi ke-3 mengatakan bahwa berdasarkan perbedaan latar belakang pendidikan dan tanggung jawab, pustakawan terbagi kepada dua kategori. Pertama, pustakawan profesional. Pustakawan ini menurut mereka telah memperolah gelar sarjana strata satu (S1) dan magister (S2) bidang LIS (library and information science) tetapi ada juga telah bergelar magister bidang lain. Tugas mereka cenderung sangat melibatkan aspek intelektual atau leilmuan dan tugas-tugas mereka bersifat non rutin. Untuk mempertegas hal ini, mereka mengutip kualifikasi pustakawan profesional menurut American Library Association yang menyatakan bahwa seorang pustakawan profesional itu harus memiliki pendidikan dan latar belakang khusus sehingga mampu mengidentifikasikan kebutuhan perpustakaan, menganalisa masalah, menyusun tujuan, memformulasikan solusi yang orisinal dan kreatif, mengintegrasikan teori-teori ke dalam praktek dan merencanakan, mengatur, mengkomunikasikan serta melaksanakan program layanan kepada pemakai layanan dan bahan-bahan perpustakaan.

Kedua, staf pendukung (support staff). Staf ini terdiri dari paraprofesional dan klerikal (clerical). Tugas mereka antara lain mendata dan mencatat data-data bibliografis; mengurus dana buku; melakukan pemesanan; mengolah bahan pustaka; mengajukan klaim majalah/jurnal ilmiah; melakukan penjajaran; copy cataloging.

Latar belakang pendidikan mereka berbeda-beda. Ada tamatan Sekolah Menengah Tingkat Atas (SLTA), Sarjana Muda/Diploma dan ada juga tamatan Sarjana Strata 1 (S1) non perpustakaan. Termasuk juga staf pendukung adalah karyawan paruh waktu (Part-time employees).[3]

Sebagaimana Stueart dan Moran, Dale Eugene Shaffer juga mengelompokkan pustakawan ke dalam 2 kategori yaitu pustakawan profesional dan non profesional. Menurutnya, hanya pustakawan profesional yang harus mempunyai latar belakang pendidikan perpustakaan yang diperoleh dari sekolah perpustakaan. Pustakawan profesional itu harus mempunyai dua kemampuan yaitu judgment (penilaian) dan discretion (kebijaksanaan). Salah satu pustakawan profesional yang harus mempunyai kemampuan ini adalah kepala perpustakaan karena ia berperan sebagai pimpinan yang harus membuat kebijakan-kebijakan dan keputusan-keputusan yang bijaksana dalam pencapaian tujuan perpustakaan. Diantara beberapa tugas pustakawan menurut Shaffer adalah sebagai berikut :

  1. Menentukan peraturan-peraturan
  2. Menangani keluhan dan saran
  3. Mengawasi pekerjaan pustakawan profesional
  4. Mempelajari metode-metode dan prosedur-prosedur untuk meningkatkan efisiensi
  5. Merancang formulir dan dokumen
  6. Menjelaskan kepada pengguna baru tentang kegunaan perpustakaan (use of library).

Ada bagian-bagian tertentu di perpustakaan apalagi perpustakaan perguruan tinggi yang harus ditangani oleh pustakawan profesional seperti bagian bahan rujukan (reference work), bagian katalogisasi dan klasifikasi, bagian pengadaan terutama berkaitan dengan seleksi dan pemesanan bahan pustaka.

Kategori kedua adalah pustakawan nonprofesional. Pustakawan semi profesional dan klerikal (clerical) termasuk pustakawan non profesional karena menurut Shaffer, tugas-tugas kedua jenis pustakawan tersebut adalah bersifat non profesional. Pustakawan semi profesional bekerja dibawah pengawasan pustakawan profesional dan melaksanakan tugas-tugas rutin yang memerlukan pengetahuan tentang perpustakaan. Meskipun demikian, pustakawan semi profesional tidak harus mempunyai latar belakang pendidikan perpustakaan formal. Mereka dapat memperoleh pengetahuan perpustakaan melalui pelatihan, workshop, lokakarya, dan kursus-kursus singkat. Sedangkan klerikal tidak memerlukan pengetahuan tentang perpustakaan karena pekerjaannya tidak memerlukan pengetahuan tersebut. Sekretaris, stenografer, juru ketik, pelayan, dan cleaning service termasuk kategori ini. Batasan pendidikan mereka adalah sekolah dasar, sekolah menengah pertama dan sekolah lanjutan.

Kegiatan rutin pustakawan non profesional adalah mencakup, pertama, penyerahan, peminjaman, dan penerimaan buku. Kedua, pencatatan buku-buku yang dipesan dan keterlambatan pengembalian buku. Ketiga, pemisahan (sorting) dan penjajaran (filing) kartu katalog. Keempat, pengumpulan dan pencatatan data statistik. Kelima, pembuatan daftar peminjam.[4]

Khusus mengenai kepala perpustakaan perguruan tinggi termasuk kepala perpustakaan fakultas, M.A. Gelfand memberi batasan-batasan sebagai berikut :

  1. Seorang kepala perpustakaan perguruan tinggi harus mempunyai latar belakang pendidikan tinggi (a broad university education)
  2. Seorang sarjana ilmu perpustakaan
  3. Seorang yang berpengalaman dalam bidang perpustakaan yang profesional.[5]

E.     Pengembangan Staf Perpustakaan

Kompetensi staf perpustakaan merupakan salah satu faktor yang menentukan mutu pelayanan suatu perpustakaan. Semakin baik kompetensi staf perpustakaan, maka biasanya semakin baik pula mutu pelayanan yang mereka berikan. Begitu pula sebaliknya. Oleh sebab itu, kepala perpustakaan perlu meningkatkan kompetensi stafnya secara terencana dan berkesinambungan sehingga dapat meningkatkan eftifitas kerja dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Selain itu, peningkatan kompetensi tersebut dapat juga meningkatkan kepuasan kerja staf karena apabila mereka merasa terlatih, terdidik, dan lebih ahli, maka mereka akan merasa lebih berguna  dan lebih percaya diri yang pada akhirnya tentu akan berpengaruh pada produktifitas kerja. untuk alasan itulah upaya pengembangan staf perpustakaan perlu dilakukan pada setiap perpustakaan terutama perpustakaan perguruan tinggi.

Pengembangan staf (staff development) seringkali oleh sebagian orang dianggap sama dengan pelatihan staf (staff training). Padahal sebetulnya staff development mempunyai arti yang lebih luas daripada staff training. Bahkan menurut Mary Casteleyn dan Sylvia P. Webb, staff training itu sendiri merupakan bagian dari staff development.[6]

Dengan demikian pengembangan staf tidak hanya menyangkut skill atau kemampuan kerja tetapi juga berkenaan dengan sikap, motivasi, dan kesadaran serta kualitas individu.

Pengembangan staf ini dapat dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada staf untuk mengikuti pendidikan baik formal maupun nonformal. Seperti mengikuti perkuliahan di perguruan tinggi (Diploma 1, 2, 3, dan Srata 1), mengikuti kursus-kursus singkat, pelatihan, workshop, seminar, lokakarya, dan lain-lain.

Menurut M.A. Gelfand, ada 6 hal yang dapat dilakukan oleh kepala perpustakaan untuk meningkatkan kompetensi stafnya, yaitu :

  1. Staff orientation. Suatu upaya pengenalan dengan panduan dan informasi khusus menyangkut organisasi, sumber daya, layanan dan fasilitas perpustakaan. Orientasi diperuntukkan bagi staf baru meskipun mereka dianggap telah memiliki pengetahuan dasar tentang kepustakawanan.
  2. Staff manual. Suatu sarana administratif yang sangat berguna untuk orientasi dan training staf baru dan untuk keseragaman aplikasi kebijakan dan peraturan perpustakaan.
  3. Staff meeting. Rapat staf adalah sarana yang baik untuk menjaga komunikasi antara kepala perpustakaan dan bawahannya.
  4. In-service training. Sesuai dengan namanya, kegiatan ini merupakan sejenis pelatihan yang berlangsung di lingkungan perpustakaan yang dilakukan secara terus menerus antara pustakawan senior dengan pustakawan junior.
  5. Professional activities outside the university. Pustakawan dapat melakukan kegiatan-kegiatan di luar lingkungan perpustakaan, seperti mengikuti pertemuan-pertemuan organisasi perpustakaan, mengunjungi perpustakaan-perpustakaan lain, dan atau pusat dokumentasi.
  6. Teaching and writing. Selain kegiatan diatas, pustakawan dapat juga mengembangkan potensinya dengan mengajar dan menulis tentang seluk beluk kepustakawanan.[7]

Namun demikian, sebelum upaya pengembangan staf ini dilakukan maka paling tidak ada dua hal yang harus terlebih dahulu menjadi perhatian kepala perpustakaan, yakni penilaian (staff assestment) dan kebutuhan staf (staff need).

Randell sebagaimana dikutip oleh Noragh Jones dan Peter Jordan, mengemukakan tiga tujuan penilaian staf, yaitu :

  1. Tinjauan prestasi (performance review). Untuk meningkatkan prestasi perpustakaan dan prestasi seluruh staf perpustakaan.
  2. Tinjauan potensi (potential review). Untuk memprediksi tingkat dan tipe pekerjaan/bidang yang mampu ditangani oleh staf perpustakaan
  3. Tinjauan penghargaan atau imbalan (reward review). Untuk mengalokasikan dan memberikan penghargaan dan imbalan yang pantas dan sesuai kepada staf yang berprestasi kerja bagus.[8]

Berikutnya, untuk mengetahui kebutuhan staf (staff need), Kenna Forsyth menyebutkan dua pendekatan yang dapat dilakukan oleh kepala perpustakaan, yaitu :

  1. Pendekatan Informal (informal approach).Pendekatan ini dapat dilakukan dengan cara bertanya atau meminta pendapat dari supervisor, kelompok manajemen (management groups), dan komite perpustakaan (library committee). Mengevaluasi prestasi staf, memeriksa dokumen yang berisikan seperti rencana jangka panjang atau membentuk panitia pengembangan staf yang dapat membantu mengumpulkan dan menganalisa data.
  2. Pendekatan Formal (formal approach).Pendekatan ini bisa diterapkan dengan tiga cara, yaitu : (1) Angket (the questionnaire). Keuntungan menggunakan angket adalah [1] cakupannya luas [2] melindungi privasi staf [3] membutuhkan keahlian membuat angket. Sedangkan kekurangannya adalah cenderung memakan waktu (time consuming) dan respon terhadap angket tersebut bisa saja membingungkan dan memerlukan penafsiran. (2) Wawancara individu (one-on-one interview). Wawancara individu memiliki keuntungan antara lain lebih bebas berekspresi dan pewawancara dapat langsung mengklarifikasi respon. Adapun kekurangannya adalah [1] makan waktu (time consuming) [2] perlu pewawancara yang handal [3] kadang-kadang susah menganalisa data. (3) Wawancara kelompok (group interview). Keuntungan wawancara kelompok adalah dapat mengumpulkan pandangan-pandangan yang berbeda dan dapat membangun dukungan untuk kegiatan pengembangan staf. Sedangkan kekurangannya adalah cenderung memakan waktu lama (time consuming), memerlukan pewanwancara yang handal dan mungkin sulit mengintegrasikan pandangan-pandangan yang berbeda.[9]

F.     Penutup

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dipahami bahwa pengembangan staf harus dilakukan secara terus menerus seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan informasi. Sehingga staf perpustakaan mampu melayani pemakai perpustakaan yang kebutuhan informasinya dari waktu ke waktu terus meningkat dan beraneka ragam. Selain akan meningkatkan kemampuan tentang kepustakawanan, kegiatan pengembangan staf juga akan merubah paradigma berpikir pustakawan yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Hal ini menjadi penting karena perpustakaan saat ini tidak dapat dipahami dengan paradigma berpikir lama. Pergeseran paradigma ini tentu akan berpengaruh pada perkembangan perpustakaan pada masa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

Casteleyn, Mary dan Sylvia P. Webb. Training For Non-trainers, New York : AMACOM, 1991.

Forsyth, Kenna. “How to Identify Staff’s Needs”, dalam Anne Grodzins Lipow, Deborah A. Carver (ed.). Staff Development : A Practical Guide, Chicago : American Library Association, 1992.

Gelfand, M.A. University Libraries for Developing Countries, Paris : UNESCO, 1968.

Jones, Noragh dan Peter Jordan. “Staff Training and Development”, dalam Staff Management in Library and Information Work, Hampshire, England : Gower, 1982.

Perpustakaan Nasional RI. Pedoman Umum Pengelolaan Koleksi Perpustakaan Perguruan Tinggi, Jakarta : Perpustakaan Nasional RI, 1999.

Shaffer, Dale Eugene. The Maturity of Librarianship as A Profession, Metuchen, NJ : Scarecrow Press, 1968.

Stueart, Robert D dan Barbara B. Moran. Library Management, Littleon : Libraries Unlimited, 1987.

Sulistyo-Basuki. Pengantar Ilmu Perpustakaan, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1991.


[1] Sulistyo-Basuki. Pengantar Ilmu Perpustakaan, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1991), hlm. 52

[2] Perpustakaan Nasional RI. Pedoman Umum Pengelolaan Koleksi Perpustakaan Perguruan Tinggi, (Jakarta : Perpustakaan Nasional RI, 1999), hlm. 43 – 44.

[3] Robert D. Stueart dan Barbara B. Moran. Library Management, (Littleon : Libraries Unlimited, 1987), hlm. 97 – 98.

[4] Dale Eugene Shaffer. The Maturity of Librarianship as A Profession, (Metuchen, NJ : Scarecrow Press, 1968), hlm. 59 – 60.

[5] M.A. Gelfand. University Libraries for Developing Countries, (Paris : UNESCO, 1968), hlm. 54.

[6] Training is usually considered to be the process through which job-related skills are achieved, yet at the same time it is itself part of the broader process of an individual’s development, the latter being concerned with attitudes, motivation, increased awareness and personal qualities. Training could perhaps be regarded as a series of short clearly defined modules, whereas development is a lifelong process contributing to personal as well as work-related advancement. Lihat  Mary Casteleyn dan Sylvia P. Webb. Training for Non-trainers, (New York : AMACOM, 1991), hlm. 134.

[7] M.A. Gelfand. Op.cit., hlm. 58 – 60

8 Noragh Jones dan Peter Jordan. “Staff Training and Development.” Dalam Staff Management in Library and Information Work, (Hampshire, England : Gower, 1982) hlm. 182

[9] Kenna Forsyth. “How to Identify Staff’s Needs”, dalam Anne Grodzins Lipow, Deborah A. Carver (ed.) Staff Development : A Practical Guide, (Chicago : ALA, 1992), hlm. 32 – 34.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top