Desain Gedung Perpustakaan Perguruan Tinggi

Pendahuluan

Perpustakaan perguruan tinggi merupakan salah satu unit penunjang perguruan tinggi. Meskipun hanya sebagai unit penunjang namun keberadaannya sangat berpengaruh dan menentukan bagi keberhasian  perguruan tinggi dalam mencapai visi dan misinya.  Dalam melaksanakan tugasnya, perpustakaan perguruan tinggi harus berlandaskan pada Tridharma Perguruan Tinggi. Adapun Tridharma Perguruan Tinggi adalah meliputi pendidikan atau pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Hal ini berarti bahwa dalam menunjang pendidikan atau pengajaran, perpustakaan perguruan tinggi mengumpulkan, mengolah, menyimpan, menyajikan dan menyebarluaskan informasi untuk civitas akademika sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Koleksi perpustakaan yang disediakan adalah koleksi yang mendukung pencapaian tujuan pembelajaran, pengorganisasian bahan pembelajaran, strategi belajar mengajar, dan evaluasi hasil pembelajaran. Dalam menunjang kegiatan penelitian, perpustakaan perguruan tinggi mengumpulkan, mengolah, menyimpan, menyajikan dan menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan bahan maupun hasil penelitian bagi para peneliti internal maupun eksternal perguruan tinggi. Sedangkan dalam menunjang pengabdian kepada masyarakat, perpustakaan perguruan tinggi melakukan kegiatan dengan mengumpulkan, mengolah, menyimpan, menyajikan dan menyebarluaskan informasi bagi masyarakat.

Mengingat arti penting perpustakaan perguruan tinggi tersebut bagi perguruan tinggi dan civitas akademika maka dalam membuat perencanaan dan desain sebuah perpustakaan perlu dilakukan dengan cara yang benar dan tepat dengan memperhatikan segala aspek baik fungsional maupun estetikanya. Kedua aspek tersebut harus mendapatkan perhatian seimbang dan proporsional sesuai dengan tujuan dan kebutuhan pengelola dan pengguna perpustakaan.

Faktanya, dalam membangun gedung perpustakaan, seringkali arsitek kurang memperhatikan unsur fungsi gedung tersebut. Mereka lebih bangga memperhatikan unsur estetikanya daripada unsur fungsionalnya. Hal ini terjadi karena beberapa kemungkinan. Kemungkinan pertama, pimpinan proyek atau pimpinan suatu lembaga tidak mengajak pihak pengelola perpustakaan dalam merancang  eksterior dan interiornya. Kemungkinan kedua tidak ada komunikasi yang terjalin antara arsitek gedung tersebut dengan para pustakawan yang ada. Kemungkinan ketiga para pustakawan sendiri yang tidak peduli sama sekali tentang fungsi interior dalam membangun gedung perpustakaan.[1]

Pembangunan Gedung Perpustakaan

Karena aspek fungsional dan estetika merupakan dua hal yang sangat penting dalam membangun sebuah gedung perpustakaan, maka sebuah perencanaan mutlak diperlukan. Sebelum membangun gedung perpustakaan perlu ada perencanaan yang matang agar nantinya bisa menciptakan tempat kerja yang nyaman bagi pegawai maupun pemakai perpustakaan. Untuk itu perlu dipikirkan matang-matang mengenai sistem layanan yang akan dipakai dalam perpustakaan bersangkutan, apakah terbuka atau tertutup. Pemilihan ini akan berimplikasi pada jalan masuk dan keluar gedung serta pemberian jendela gedung.[2] Di dalam perencanaan tersebut  seharusnya terlebih dahulu dapat dirumuskan beberapa hal penting sebagai berikut :

  1. Untuk apa perpustakaan didirikan.
  2. Apa fungsi dan program yang ingin dilaksanakan.
  3. Berapa jumlah staf yang diperlukan atau yang tersedia.
  4. Siapa saja yang akan dilayani oleh perpustakaan
  5. Bahan pustaka, peralatan, furnitur apa saja yang akan ditampung dalam ruangan atau gedung perpustakaan
  6. Berapa anggaran yang tersedia untuk pembangunan gedung tersebut.[3]

Menurut Soejono Trimo[4]  pada setiap pembangunan gedung perpustakaan, terdapat empat tahap yang harus dilalui oleh pihak arsitek dan pustakawan, yaitu:

Tahap pertama, persiapan penyusunan desain secara skematis (Schematic design phase) yaitu tahap pengumpulan dan penggalian data serta informasi. Pada tahap ini tugas arsitek adalah:

  1. Mengumpulkan informasi tentang ketentuan atau persyaratan yang diminta oleh pustakawan dan pimpinan instansi (tempat perpustakaan bernaung) berkaitan dengan fungsi perpustakaan yang akan dijalankan dan kondisi keuangan (dana) yang dimiliki oleh pustakawan dan pimpinan instansi.
  2. Memberikan saran dan tanggapan terhadap persyaratan yang diajukan oleh pihak pustakawan dan pimpinan institusi berkaitan dengan perencanaan gedung perpustakaan terutama dalam hal estetika (bagaimana penampilan dan rasa) semestinya, teknologi (bagaimana gedung perpustakaan dapat dibangun dan  mengontrol kondisi interior) dan ekonomi (ketersediaan dana) dan fungsi (apa manfaat gedung).

Adapun tugas pustakawan diantaranya adalah a) Mengumpulkan data tentang fungsi dan kegiatan yang akan dijalankan oleh perpustakaan; b) Jumlah koleksi, jenis bahan pustaka yang akan ditampung dan proyeksi perkembangannya dimasa mendatang; c) Peralatan dan perabot yang akan diletakkan didalam gedung; d) Jumlah pengguna dan staf yang harus ditampung dalam gedung; e) Lokasi gedung dan lain-lain.

Disamping itu, pustakawan juga harus mampu menyusun pernyataan tertulis (written statement) yang berisi tentang dua hal, yakni a) Apa yang diharapkan pustakawan pada gedung perpustakaan yang baru, sehingga harapan tersebut dapat direalisasikan oleh arsitek ke dalam desain gedung yang fungsional dan indah; b) Berguna bagi pustakawan dan pimpinan instansi untuk mempergunakannya sebagai acuan dalam mensupervisi konstruksi gedung perpustakaan.

Tahap kedua, Penggarapan desain gedung (design development phase). Pada tahap ini pustakawan, pimpinan instansi dan arsitek harus berperan lebih aktif dibandingkan pada tahap pertama, karena pihak-pihak tersebut harus mengambil keputusan yang berkaitan dengan a) Rencana gedung yang akan dibuat; b) Ukuran-ukuran yang harus dipenuhi; c) Cara dan jalannya konstruksi bangunan; d) Warna, hiasan dan lain-lain penyelesaian akhir; e)Bahan bangunan yang akan dipakai; f) Pengaturan udara, suara, air, cahaya; g) Pemasangan instalasi untuk perlengkapan perpustakaan; h) Daya tampung gedung; h) Lokasi yang strategis.

Berkaitan dengan kegiatan-kegiatan tersebut maka tugas arsitek ialah memberikan penjelasan secara menyeluruh atas gambar desain gedung yang telah direncanakan sesuai dengan informasi yang diperoleh dari pustakawan dan pimpinan instansi. Adapun tugas pustakawan a) Memberikan tanggapan atas penjelasan yang disampaikan oleh arsitek; b) Menentukan skala prioritas sesuai dengan dana yang dimiliki dan alternatif yang dapat diambil bila dana tidak memungkinkan.

Tahap ketiga, penyelesaian dokumen pendirian gedung (Construction document phase), merupakan tahap yang banyak membutuhkan waktu bagi pihak arsitek dan teamnya. Adapun tugas arsitek pada tahap ini adalah a) menyiapkan dokumen konstruksi yang akan diberikan kepada kontraktor pembangunan gedung perpustakaan; b) mengurus ijin administratif untuk mendapat persetujuan mendirikan bangunan. Sedangkan tugas pustakawan ialah berupaya memahami bahasa teknik yang tercantum dalam dokumen konstruksi sehingga lebih mudah dalam melakukan supervisi.

Tahap keempat, penyelesaian administrasi umum pada pembangunan gedung (General administration of construction phase). Pada tahap ini pekerjaan pembangunan gedung dilaksanakan oleh kontraktor yang ditunjuk oleh institusi penaung perpustakaan.

Tugas arsitek pada tahap ini adalah mensupervisi pelaksanaan pembangunan gedung agar sesuai dengan dokumen konstruksi dan juga mensupervisi biaya yang dikeluarkan oleh pihak kontraktor. Adapun tugas pustakawan a) bila pembangunan gedung telah selesai, maka pustakawan melakukan evaluasi terhadap bangunan gedung; b) memberikan penjelasan/informasi kepada pengguna perpustakaan mengenai fasilitas gedung perpustakaan yang dapat mereka manfaatkan.

Desain Interior Perpustakaan : Aspek Fungsional dan Estetika

Kamus Besar Bahasa Indonesia Online[5] memberi batasan desain dengan kerangka, bentuk; rancangan. Sedang Interior adalah bagian dalam gedung (ruang dsb) di dalam ruang gedung dsb. Ching[6]  mendefinisikan desain interior adalah merencanakan, menata dan merencanakan ruang interior dalam bangunan. Adapun tujuannya adalah untuk memperbaiki fungsi, memperkaya nilai estetika dan meningkatkan aspek psikologis dari ruang interior.

Menurut Lasa[7] ditinjau dari segi bangunan perpustakaan merupakan suatu organisasi yang memiliki sub-sub sistem yang memilik fungsi yang berbeda-beda. Oleh karena itu, dalam perencanaan gedung dan ruang perpustakaan perlu memperhatikan fungsi tiap ruang, unsur-unsur keharmonisan dan keindahan, baik dari segi interior maupun eksterior. Ruang yang tertata baik akan memberikan kepuasan kepada pemakainya (pegawai perpustakaan dan pengguna perpustakaan).

Lebih lanjut, Lasa[8] mengatakan bahwa terdapat  beberapa prinsip yang yang perlu diperhatikan dalam arsitektur gedung perpustakaan. Gedung perpustakaan perlu ditata sesuai kebutuhan dengan tetap mengindahkan prinsip-prinsip arsitektur. Penataan ini dimaksudkan:

  1. Memperoleh efektifitas kegiatan dan efisiensi waktu, tenaga dan anggaran.
  2. Menciptakan lingkungan yang nyaman suara, nyaman cahaya, nyaman udara, dan nyaman warna.
  3. Meningkatkan kualitas pelayanan
  4. Meningkatkan kinerja petugas perpustakaan.

Ruang perpustakaan akan nyaman bagi pemakai dan petugas bila ditata dengan memperhatikan fungsi, keindahan, dan keharmonisan ruang. Dengan penataan yang baik akan memberikan kepuasan fisik dan psikis bagi penghuninya.

Sedangkan  Brophy[9] di dalam bukunya The Academic Library menyatakan bahwa dalam desain interior perpustakaan harus mempertimbangkan sejumlah prinsip-prinsip umum sebagai berikut :

  1. Accessibility. Setiap ruangan perpustakaan harus mudah diakses oleh setiap pengguna terutama mereka yang memiliki keterbatasan fisik atau cacat.
  2. Flexibility. Setiap ruangan dan area di perpustakaan harus bersifat fleksibel untuk suatu saat digunakan untuk tujuan-tujuan yang berbeda.
  3. Compactness. Setiap ruangan saling berdekatan satu sama lain sehingga mudah dicapai oleh pengguna.
  4. Serviceability. Dukungan daya listrik dan jaringan komputer dan upaya antisipasi jika keduanya bermasalah.
  5. Environment. Lingkungan yang stabil perlu juga dipertimbangkan dalam kaitannya dengan kebutuhan koleksi perpustakaan.
  6. Health and safety. Perpustakaan dimanfaatkan oleh sejumlah besar pengguna karena itu keselamatan mereka patut menjadi perhatian besar.
  7. Use of natural light. Setiap ruang perpustakaan khususnya ruang baca seharusnya mendapatkan pencahayaan alami.
  8. Confort. Karena para pengguna dan staf perpustakaan menghabiskan lebih banyak waktu di perpustakaan, maka faktor kenyamanan tidak boleh diabaikan.
  9. Maintainability. Gedung perpustakaan secara mudah dan ekonomis dapat dipertahankan dalam jangka panjang.
  10. Security. Desain gedung dan interior perpustakaan harus mempertimbangkan faktor keamanan seperti menyediakan pintu masuk dan keluar dengan satu koridor.

Sementara itu, dari sisi estetika desain interior ruang perpustakaan harus memperhatikan tiga elemen, yaitu :

  1. Elemen garis. Elemen ini digunakan untuk menghasilkan kesan bergerak atau menjelaskan kesan lebar atau tingi. Garis vertikal memberikan kesan lebih tingi pada suatu benda sedangkan garis horisontal memberikan kesan lebar. Perpaduan dalam penggunaan garis tersebut tentu dapat membentuk ruangan terasa lebh tinggi dan lebar. Penggunakan garis lengkung memberi kesan fleksibel. Pemilihan barang-barang yang mengandung garis lengkung yang tepat mampu menghilangkan kesan kaku pada ruangan, dan mampu membuat ruangan terasa lebih menenangkan.
  2. Elemen warna dan pencahayaan. Elemen ini menempati posisi yang tidak kalah pentingnya. Dalam menentukan warna yang akan digunakan dalam ruangan perpustakaan, harus diperhatikan dampak psikologis yang dapat ditimbulkan warna. Warna kuning seringkali memberi kesan riang. Namun tidak berarti semua ruangan dicat warna kuning yang justru akan memberi kesan panas seperti matahari. Ternyata warna juga memberi dampak lebih luas. Warna gelap memberi kesan sempit sedang warna terang memberi kesan lebih luas pada ruangan.
  3. Elemen pembagian ruangan. Pembagian ruang ini diharapkan tidak menghalangi keleluasaan bergerak. Penataan jarak antara perlengkapan perpustakaan termasuk jarak anatara rak buku, jarak antara kursi dan meja dengan dinding. Harus ada jarak keleluasaan bergerak memilih koleksi rak buku atau bergerak diantara pembaca.[10]

Desain interior perpustakaan yang mengintegrasikan nilai-nilai estetika akan berdampak terhadap pemanfaatan jasa perpustakaan oleh pengguna. Dari  survai yang dilakukan oleh Rainathami[11] mengenai hubungan antara kondisi fisik gedung dan desain interior ruang perpustakaan dengan minat menggunakan jasa layanan perpustakaan diketahui bahwa:

  1. Kondisi fisik gedung perpustakaan seperti pembagian ruangan, warna bagian luar gedung, kebersihan, dan kelengkapan fasilitas gedung seperti toilet tidak terlalu mempengaruhi minat menggunakan jasa layanan perpustakaan dibanding dengan kondisi ruang peprustakaan.
  2. Kondisi ruang perpustakaan berkorelatif positif dengan minat menggunakan perpustakaan. Semakin baik kondisi ruang perpustakaan, semakin tinggi minat menggunakan jasa layanan perpustakaan. Semakin buruk kondisi ruang perpustakaan semakin rendah minat pemakai jasa layanan perpustakaan.
  3. Pemilihan warna dan cahaya paling mempengaruhi minat. Semakin gelap dan suram warna ruangan, semakin enggan pemakai menggunakan jasa layanan perpustakaan. Dan warna putih adalah warna yang paling diinginkan oleh pemakai.
  4. Pemilihan furnitur dan penataan ruangan, termasuk rak buku, ternyata juga mempengaruhi pemakai dalam menggunakan jasa layanan perpustakaan. Beberapa pemakai merasa punya kesan kaku dari penataan rak buku dan kursi serta meja baca yang kaku di ruang perpustakaan. Mereka merasa tertekan dan tidak betah untuk berlama-lama dalam ruangan perpustakaan dalam kondisi penataan furnitur yang kaku.

Penutup

Sebagai information resource center dari suatu perguruan tinggi, perpustakaan memang selayaknya dibangun dan didesain tidak saja dengan mempertimbangkan aspek estetikanya saja tetapi juga jauh lebih penting dari itu yaitu aspek fungsionalnya. Sehingga kalaupun sebuah perpustakaan dibangun dengan megah dan menghabiskan anggaran yang cukup besar, kemegahannya itu tetap diimbangi dengan fungsi-fungsinya yang optimal dan bagus layaknya perpustakaan perguruan tinggi yang ideal.

Upaya menghadirkan gedung perpustakaan yang fungsional dan sarat nilai estetika  dibutuhkan kerjasama sinergis antara pengelola gedung, yaitu pustakawan dengan arsitek dan para pengambil kebijakan di perguruan tinggi bersangkutan. Tanpa kerjasama yang baik tersebut, maka harapan untuk memiliki sebuah perpustakaan perguruan tinggi yang ideal fungsional dan sarat nilai estetika menjadi angan-angan belaka. Wallahu’alam.

Daftar Pustaka

Brophy, Peter. (2005). The Academic library. London : Facet Publishing.

Ching, francis. (1996). Illutrasi desain interior. Jakarta: Airlangga.

Kamus Besar Bahasa Indonesia online. <http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/ index.php>. diakses tanggal 15 Desember 2010.

Lasa HS. (2005). Manajemen perpustakaan. Yogyakarta: Gama Media.

Mutia, Fitri. Peran Pustakawan dalam  Mendesain Perpustakaan Bagi Penyandang Cacat <http://palimpsest.fisip.unair.ac.id/images/pdf/mutia. pdf>. diakses tanggal 14 Desember 2010.

Rainathami, Herika. (2002). Penataan ruang pepustakaan sebagai penunjang promosi perpustakaan perguruan tinggi dalam Sekapur sirih pendidikan perpustakaan di Indonesia 1952 – 2002: kumpulan artikel alumni dan mahasiswa program studi Ilmu Perpustakaan Program Pascasarjana FIB Universitas Indonesia, Depok: FIB.

Sulistyo-Basuki. (1993). Pengantar ilmu perpustakaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Trimo, Soejono. (1986). Perencanaan Gedung Perpustakaan. Angkasa: Bandung.

Ulumi, Bahrul. (2008). Desain Interior Perpustakaan. <http://ulum-hepi.blogspot.com /2008/10/desain-interior-ruang-perpustakaan.html>. diakses tanggal 14 Desember 2010



[1] Ulumi, Bahrul. (2008). Desain Interior Perpustakaan. <http://ulum-hepi.blogspot.com /2008/10/desain-interior-ruang-perpustakaan.html>. diakses tanggal 14 Desember 2010.

[2] Sulistyo-Basuki. (1993). Pengantar ilmu perpustakaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hal. 303.

[3] Mutia, Fitri. Peran Pustakawan dalam  Mendesain Perpustakaan Bagi Penyandang Cacat <http://palimpsest.fisip.unair.ac.id/images/pdf/mutia.pdf>. diakses tanggal 14 Desember 2010

[4] Trimo, Soejono. (1986). Perencanaan Gedung Perpustakaan. Angkasa: Bandung. Hal.

[5] Kamus Besar Bahasa Indonesia online <http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php>. diakses tanggal 15 Desember 2010.

[6] Ching, Francis. (1996). Illutrasi desain interior. Jakarta: Airlangga. Hal. 46

[7] Lasa HS. (2005). Manajemen perpustakaan. Yogyakarta: Gama Media. Hal. 147

[8] Ibid. hal. 148.

[9] Brophy, Peter. (2005). The Academic library. London : Facet Publishing. Hal. 135

[10] Rainathami, Herika. (2002). Penataan ruang pepustakaan sebagai penunjang promosi perpustakaan perguruan tinggi dalam Sekapur sirih pendidikan perpustakaan di Indonesia 1952 – 2002: kumpulan artikel alumni dan mahasiswa program studi Ilmu Perpustakaan Program Pascasarjana FIB. Universitas Indonesia, Depok: FIB. Hal 63.

[11] Ibid. hal. 60

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top